Bersama Andika Sinatria, dia merasa sangat terlindungi dan terlayani. Tapi ada yang sangat terasa kurang. Gadis ini sama sekali tidak merasakan gairah hidup yang meledak ledak. Hal yang dialaminya tiap hari bersama pemuda konyol itu. Ada tawa, sedih, marah, haru, diperhatikan dan api yang selalu berkobar di hati. Begitu lengkap sehingga mampu membangkitkan gairahnya secara kodrati terhadap dunia. Dia tidak perlu melakukan sikap pura pura dalam hal apapun. Bahkan dia sudah menampar pipi pemuda itu beberapa kali.
Hihihi...jika ingat ini Dewi Mulia Ratri menjadi geli. Pemuda itu meskipun tengil dan konyol, namun sikapnya selalu menyenangkan, romantis lagi!
Pagi ini, setelah semalaman beristirahat di tenda yang disediakan oleh pengawal Andika Sinatria, Dewi Mulia Ratri membersihkan diri dengan air hangat yang disediakan oleh para pengawal. Ya, Andika Sinatria memang pendekar yang sangat lihai dan tangguh. Sangat jarang orang yang bisa menandinginya di jaman ini. Tingkatnya sudah mendekati tingkat gurunya, Ki Mandara si Iblis Tua Galunggung, tokoh tua sakti di daratan Jawa.
Namun tetap saja dia adalah seorang pangeran kerajaan besar pasundan. Tetap ada satu regu pengawal yang menyertainya kemana mana untuk melayani semua kebutuhannya. Itu juga yang membuat Dewi Mulia Ratri agak tidak merasa nyaman. Dia risih jika apa apa selalu dilayani.
Dewi Mulia Ratri pernah menyatakan keberatannya kepada Andika Sinatria. Namun pangeran ini malah tersinggung berat dan ngambek beberapa kali. Sehingga tidak pernah lagi Dewi Mulia Ratri menyinggung nyinggung tentang pelayanan kelas atas dalam pengembaraan ini.
Bagaimanapun....air hangat ini membuat tubuhnya sangat segar. Begitu keluar dari tenda untuk menghirup udara pagi yang luar biasa sejuk di gunung ini, Dewi Mulia Ratri kembali dikejutkan dengan pelayanan kelas tinggi. Di depan tendanya telah tersedia sebuah meja lipat lengkap dengan sarapannya yang masih mengepul panas. Ada dua kursi di situ. Andika Sinatria tersenyum manis sambil mempersilahkan Dewi Mulia Ratri duduk di kursi sebelahnya.
Gadis cantik itu menjadi kikuk. Kursi itu berdampingan dan sangat berdekatan. Tentu saja dia senang namun juga sedikit sebal. Tidak perlu berlebihan seperti ini seharusnya.
Dia teringat saat sarapan bersama Arya Dahana dan Sima Lodra di pinggir sungai. Mereka duduk di rerumputan dengan seenaknya. Makan ikan segar yang ditangkap oleh Arya Dahana. Membakarnya bersama sama sambil saling olok satu sama lain. Dan sesaat setelah suapan terakhirnya masuk ke dalam mulut, tiba tiba Arya Dahana menyodorkan tempat minum dari bambu yang ditulisi sajak yang sangat indah;
Air dan Api Merenda Pagi
Tertidur di sela sela batu. Meringkuk kedinginan padahal hari sangatlah terang. Anginpun tidak membawa gigil yang berarti. Semilirnya amatlah lembut. Membawa sayup kidung sanggabuana. Dari seruling seorang gembala, yang termangu mengantuk di lerengnya.
Terbangun tiba tiba karena suara petir mengetuk kesunyian. Pertanda awan akan melahirkan. Titik dan remah kecil air hujan. Basahi sekujur tubuh bumi. Yang sekian waktu belum juga mandi.
Terduduk diam karena rindu mengusik urat nadi. Pada bidadari penunggu hati. Yang menghilang saat dulu petang berkemas pulang. Menghilang bersama keramaian sungai cilamaya. Pergi entah kemana.
Bangkit berdiri sebab sebuah sengatan. Hadirnya mimpi yang berkebaya malam. Kisah tentang air dan api. Yang tak mau sudah merenda datangnya pagi.
Bukan main! Saat itu Dewi Mulia Ratri yang terbiasa menahan perasaannya, sampai meneteskan air mata terharu. Jika tidak malu dan takut menurunkan harga diri, pasti sudah dihadiahinya langsung pemuda itu kecupan hangat di pipi.