Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tetralogi Air & Api, Petualangan Cinta Air dan Api

25 Desember 2018   12:30 Diperbarui: 25 Desember 2018   12:56 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Arya Dahana kelabakan dan kikuk mendapatkan perhatian dan kasih yang begitu besarnya.  Dia memegang tangan Dewi Mulia Ratri dengan lembut.  Ketika dia hendak mengambil sapu tangan yang penuh bercak darah itu, Dewi Mulia Ratri menahannya sebentar sambil berbisik lirih.

"Pergilah Dahana.  Kau harus mengembalikan sapu tangan ini langsung dari tanganmu dan tidak boleh lebih dari 10 purnama waktunya...jagalah dirimu baik baik...." mata indah itu terlihat mengembun sedikit di ujungnya. Lalu tanpa sengaja melompatlah dua butir airmata.

Arya Dahana terpukau seperti orang tolol, keharuan menyapu seluruh perasaannya. Saputangan di tangannya hampir saja terlepas jika tidak cepat cepat dimasukkan ke dalam kantong bajunya.  Dilihatnya Dewi Mulia Ratri memalingkan muka tak mau melihatnya.  Disambarnya tubuh Bimala Calya yang sudah setengah pingsan dan menghilang dengan cepat ditelan kerimbunan hutan Pangrango.

Andika Sinatria tidak mau mencampuri atau menghalangi Arya Dahana karena dia tahu betapa kerasnya Dewi Mulia Ratri jika sudah berkehendak.  

Barulah setelah bayangan Arya Dahana tidak terlihat lagi, dia memberikan perintah untuk menahan Tiga Maut Lembah Tengkorak.  Sementara puluhan pasukan anak buah Bimala Calya sudah melarikan diri sedari tadi.

Pangeran tampan itu mendatangi Dewi Mulia Ratri yang masih hanyut oleh perasaannya. 

"Dewi, aku tidak memahami alasanmu melepas Bimala Calya namun aku menghargai semua keputusanmu.  Penyelidikan ini sudah lebih dari cukup aku rasa.  Kita bisa mendapatkan keterangan banyak dari tiga tahanan penting ini.  Hari ini kita kembali ke Ibukota Galuh Pakuan.  Bagaimana menurutmu?"

Tanpa menoleh sedikitpun, Dewi Mulia Ratri mengangguk mengiyakan.  Gadis itu sadar jika dia mengeluarkan suara, maka yang keluar adalah suara yang serak bergetar.  Jika dia menoleh dan menatap Andika Sinatria, maka matanya yang masih digenangi air mata akan terlihat oleh pangeran itu. Hatinya seperti berteman dengan sembilu saat ini.  Biarlah dia menikmatinya sesaat sampai matahari mengurainya menjadi debu berupa rindu.

****
Bersambung Bab V

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun