Dari banyak buku-buku yang ditulis para pujangga, filsuf maupun pengkhayal gila. Sepi tergolong permaisuri. Membangun istananya sendiri. Berkuasa atasnya. Lantas berusaha bunuh diri.
Orang-orang yang dilamun sepi. Bisa saja menjadi penyamun kegaduhan. Mengumpulkannya keping demi keping. Dari lantai pasar yang licin, jalanan yang bising, hingga terminal dan stasiun yang padanya diberi takdir tak punya hening.
Menerjemahkan sepi dari tepian panggung tempat para biduan bernyanyi. Atau di lapangan ketika para jagoan berorasi. Atau saat hujan menyebarkan recehan untuk berdonasi. Itulah sepi yang sesungguhnya. Bukan pura-pura.
Kala sepi menjadi hulubalang atas segala centang perenang yang mengumumkan perang terhadap jalan pikiran, ada baiknya kita segera menentukan pilihan. Berdiam diri atau membunuhnya dengan belati. Yang diasah oleh hati yang separuhnya adalah besi. Separuhnya lagi adalah puncak dari rasa berani.
Sepi bukanlah raja diraja yang memerintah kita untuk selalu berkata iya.
Katakan tidak meski untuk sekali saja.
Jakarta, 24 Desember 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H