Hujan datang tergesa-gesa. Mengejar durasi tayang di perhelatan musim ketika harapan dan keinginan bergiliran ke pelaminan.
Kau memandang di tepian jendela setengah terbuka. Mengintip betapa bau rumput basah memenuhi beranda. Di sanalah kita pernah mempermasalahkan masa silam. Sebagai alasan memulai pertengkaran.
Kau berencana menghabiskan serpihan masa silam untuk dikenang. Sedangkan aku menghabiskan rencana mengenang masa silam. Setelahnya kita habis-habisan saling menyalahkan.
Aku menyalahkanmu karena meletakkan rindu di atas paku. Begitu ngilu. Sedangkan kau menuduh aku menuliskan berhalaman-halaman rasa ngilu. Di buku-buku tentang rindu.
Kemudian secara bergiliran kita menghitung anak-anak hujan yang dilahirkan.
Kau bilang, aku menyukainya karena hujan ini seperti barisan ensiklopedia yang menyuruh hati untuk mencari definisi percintaan. Aku katakan, hujan adalah memorabilia tak terhapuskan karena selalu saja berhasil menyulut kedatangan kenangan.
Kita hampir sepakat.
itu artinya semua belumlah terlambat.
Ataukah mesti kita lanjutkan sengketa tentang masa silam yang masih tertambat?
Jakarta, 23 Desember 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H