Di pagi yang sedang berlidah kelu. Aku sempat membaca buku-buku yang sebagian besarnya menuliskan waktu, kupu-kupu, dan rindu;
1) kepada waktu, syair-syairnya menggelegakkan panas kawah di setiap kepundan gunung yang siap runtuh kapan saja. Menunggu rasa muak dan mual menaiki kaldera. Rasa yang dipicu oleh bumi yang semakin koyak. Dirobek-robek kehendak tamak. Menuju rusak.
2) dari kupu-kupu, sajak mengalir seperti sungai yang membanjir. Menghanyutkan kelebihan pikir orang-orang pandir. Mencontohkan sebuah metamorfosa yang gagal. Berasal dari keinginan brutal untuk melafal hal-hal janggal. Ke dalam keputusan tak normal. Bahwa manusia sesungguhnya adalah jagal.
3) tentang rindu, ratapan terus menerus dari hati yang tergerus. Oleh kencangnya arus dari jeram berbahaya yang dinamakan cinta. Melintasi tebing-tebing curam yang mustahil didaki. Kecuali jika memiliki niat setinggi azzuri atau kemauan besar harakiri.
Pagi yang nyaris buta lantas menjadi tunanetra. Tertutupi cumulonimbus seberbahaya jiwa-jiwa yang mendadak lupa. Terhadap ingatannya.
Jakarta, 23 Desember 2018