Ibu, saat melahirkanku, aku tahu kau mempertaruhkan nyawa seperti seorang matador melawan gerombolan singa. Bukan hanya sekedar menundukkan kerbau liar semata.
Aku tahu itu tapi setelah dewasa aku hanya menyebutnya sebagai kodrat. Aku mulai bertingkah keparat.
Ibu, aku masih sanggup mengingat derasnya air susu menyusuri sudut mulut, mengaliri kerongkongan dan lalu menyalakan jantungku. Kau mendermakannya secara cuma-cuma. Dilengkapi senyum tulus di muka. Begitu paripurna.
Sementara pada zaman ini aku rela membayar mahal untuk sekaleng susu, namun tak mau menemui pusaramu yang termangu menungguku datang bertamu.
Ibu, dalam kelelahan yang teramat sangat sebagai seorang guru, kau mencuci baju, memasak di tungku, dan menerima dengan damai teriakan gaduhku. Sambil menjahit kelambu yang berlubang. Ini kelak menjadi kenangan yang layak dikubang.
Sedangkan aku. Tak ingat lagi apakah makammu sangat berdebu. Kembang yang bertahun layu. Rumput-rumput yang lupa disiangi. Juga rinduku padamu yang sama sekali tak pernah rapi.
Ibu, kau mudah sekali memaafkan. Walau banyak laknat yang aku lakukan.
Dan aku, mudah sekali melupakan. Kalau kau pun masih merindukan. Doa-doa seorang anak dilantunkan.
Jakarta, 22 Desember 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H