Kita sedang dilanda elegi yang kronis. Kepedihan tipis yang disayat-sayat oleh gerimis. Di sore yang kepadanya kita menyerahkan semua keyakinan. Atas segala pernik keraguan yang tiba-tiba bertamu tanpa peringatan.
Kita menjelang petang di puncak stupa rasa gamang. Kita bisa mengendalikan diri dengan tidak berupaya bersembunyi. Persembunyian telah penuh sesak. Terisi sekian banyak andai, umpama dan jika yang tak menyertakan apabila.
Apabila nanti ternyata kita harus menjerang malam di atas api, biarkan aku membuatkanmu secangkir kopi sepekat airmata. Kita minum bersama karena biji kopi hanya berjumlah tak seberapa. Percayalah, kita akan baik-baik saja. Segelas kopi cukup bagi kita untuk berkhidmat pada hangat. Kita harus sepakat.
Atau kita bisa-bisa membuang sisa tegukannya secara sia-sia.
Kita membeli elegi itu tadi pagi. Dengan sisa uang yang hanya bisa untuk menutup mulut sunyi. Tanpa bisa tambahan bernyanyi.
Bersama sisa kopi, kita telan elegi itu sembari menutup mata hati. Tak perlu diratapi. Elegi yang meratap justru membuat pedih menetap.
Sudah mengerti?
Jika belum, besok kita memulung elegi lain lagi. Di antara serpihan cahaya matahari yang mati.
Jakarta, 11 Desember 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H