Sementara itu. Kau berusaha membunuhku. Dengan sekali dua tikaman kata-kata berbisa. Di rongga dada yang masih menyisakan setidaknya beberapa tanya. Terhadap beberapa rencana untuk mengingat kembali lupa.
Saat itu juga, protokol di ruang kepalaku, menolaknya dengan lusinan bahasa gagu. Yaitu bahasa gurun kepada kekeringan yang membuat setahun penuh musim hujan seolah tak berlaku.
Juga, bahasa laut kepada angin yang meminta agar lidah gelombangnya berhasil menjilati pesisir. Di sanalah semua badai akan berakhir. Sesuai dengan petunjuk takdir.
Setelahnya kau melarikan diri. Berulangkali. Bersembunyi di banyak tempat yang menutupi kemungkinan akan pertemuan. Menjadikan perpisahan itu sebuah kehilangan yang belum bisa ditemukan.
Kau tidak tahu. Aku masih hidup dalam benakmu. Merangkai kemungkinan. Dari susunan urat syaraf yang kebas oleh ketidaktahuan. Menjadikannya satu rangkaian utuh tentang kepastian.
Jakarta, 8 Desember 2018