Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Hujan di Kota

6 Desember 2018   23:11 Diperbarui: 6 Desember 2018   23:16 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Seringai hujan
mengancam jalanan
di kota yang sebentar lagi mati kelaparan
setelah bosan saling memakan

hujan turun sederas makian
ketika macet menghapus organ tak nyata yang disebut perasaan
menyuburkan rasa tandus
di hati orang-orang yang hatinya ditumbuhi duri-duri kaktus

hujan juga mengaliri terowongan
tempat orang-orang bersembunyi dari khayalan
tentang kota yang ramah
menjemput kepulangan hingga ke rumah

hujan berhenti
tepat di hadapan lampu jalanan yang mati
suasana remang
menyinari kota yang mulai berwajah jalang

hujan demi hujan mendatangi kota
bertamu atau menjajakan rasa jemu
kota akan menerima dan membelinya
sesuai kodratnya, kota adalah tuan rumah sekaligus tukang binatu

Jakarta, 6 Desember 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun