Kepada Tuhan;
atas paksa terhadap pinta yang menuntut untuk dibalas. Bertubi-tubi menghujani langit seolah nestapa memiliki rahim tak terbatas. Tuhan dianggap mesin cuci. Meminta yang kotor agar dibersihkan kembali. Berulangkali.
Tetapi lupa. Menyebut nama Tuhan tak lebih dari sedepa. Setelahnya kemudian menuhankan kesenangan, keriuhan dan kekacauan. Atas nama sekian karat peradaban.
Kepada Cuaca;
setelah mempermainkan cintanya yang sehangat musim panas, sebelum almanak tuntas, dirubahnya dengan semena-mena ke dalam musim beluntas. Sedangkan Gaura masih belum berkesempatan berbunga. Mau tak mau lagi-lagi merontokkan daunnya.
padahal cuaca berputar dalam ruang kodrat. Tak ingin lewat juga tak mau terlambat. Namun serakah adalah nama lahir manusia. Membuat chaos? Itu mudah saja.
Kepada Waktu;
karena dengan seenaknya merusak pendulum. Lalu minta dimaklum. Membuang waktu pekerjaan mudah. Menyia-nyiakannya lebih lagi bukan hal susah. Waktu dianggap pembantu. Kapan saja bisa disuruh mengangguk setuju. Mengerjakan ini itu pada hal yang tidak tentu.
sedangkan waktu adalah pengawal terpilih. Bagi segala hal yang kelak bisa menimbulkan pedih. Menyediakan ruang-ruang yang begitu leluasa. Agar kita memahami makna dan bukan sekedar frasa. Pada istilah takdir yang menua dengan sendirinya.
Bogor, 4 Desember 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H