Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Kisah Sungai Segah

1 Desember 2018   11:04 Diperbarui: 1 Desember 2018   11:15 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sungai Segah kehujanan. Tubuhnya yang tak seramping dulu, menggigil kedinginan. Wajahnya yang tak sebening dulu, meruam kesakitan. Dulu, hujan baginya adalah suka ria. Kini, hujan baginya adalah siksaan duka.

Bagi Sungai Segah. Hujan begitu banyak membangkitkan kenangan. Akan hutan-hutan yang menghilang. Seperti asap dupa di kuburan. Tertiup udara dingin. Di malam gelap berangin.

Bagi Sungai Segah. Hujan adalah bentuk lain kesakitan. Menyaksikan potongan tulang belulang pohon berhanyutan. Tak sempat dimakamkan. Apalagi diupacarakan. Mereka yang lewat ini telah mati. Penuh dengan rasa nyeri.

Sungai Segah melanjutkan kisahnya sebagai saksi diam. Ketika tanah pinggirannya berlubang dalam. Digali berulang-ulang. Terciptalah kawah dan kaldera. Wujud lain dari ruang neraka. Tanpa api di dalamnya.

Apabila kisah ini masih berlanjut. Tak usah terkejut. Jika nanti Sungai Segah meluapkan amarah liar. Dengan cara-cara yang tak sanggup dinalar. Dan kita akan menjadi saksi berikutnya. Atas peradaban yang dengan mudahnya berlaku aniaya.

Tanjung Redeb, 1 Desember 2018

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun