Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Ketika Embun Tak Lagi Bernafaskan Api

30 November 2018   16:59 Diperbarui: 30 November 2018   17:52 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
TribunStyle.com - Tribunnews.com

Di suatu tempat. Di sebuah pagi. Ketika embun yang datang adalah api. Maka itu adalah keping kemarahan yang merusak. Membuat semua hal lantas luluh lantak.

Di suatu ketika. Saat hujan yang merana. Tiba dengan wajah kuyu. Rintiknya terasa begitu ngilu. Maka musim sedang tertatih. Tak sanggup lagi mengalah pada pedih. Manakala angin bertiup gerah. Membawa gelombang panas dan dingin tak tentu arah.  

Di suatu rencana. Waktu keberangkatan tak bisa ditunda. Namun kepulangannya selalu tak pernah tiba. Maka mungkin takdir sedang berbicara. Apa adanya. Tidak mengada-ada.

Di suatu senja. Ketika langit memuntahkan warna lava. Lalu jendela ditutup tergesa-gesa. Tak sanggup menyaksikan. Semburat merah yang melambangkan kepergian. Tapi tidak mengisyaratkan kedatangan.

Di suatu waktu. Jika rindu lantas mengaku. Melalui pertanda ringan. Tangkai kembang sepatu mekar beriringan. Maka memang tiba masanya. Untuk tidak lagi berlaku durjana. Mengatakan terus terang. Kita akan saling bergenggam tangan.

Menyambut esok pagi. Ketika embun tak lagi bernafaskan api.

Tanjung Redeb, 30 Nopember 2018

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun