Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Hujan Kunang-kunang

28 November 2018   10:38 Diperbarui: 28 November 2018   11:00 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Dalam diam. Aku mencari kata kehilangan. Setelah perpisahan yang tak terhindarkan. Mengakhiri pertemuan yang tak direncanakan.

Ada satu bintang di langit yang biasa melintas. Lenyap tak berbekas. Seolah kandas di suatu tempat. Atau melambat. Karena lupa jalan pulang. Atau sengaja untuk tidak datang.

Bersama malam. Aku putuskan untuk berbela sungkawa. Dengan melakukan sedikit upacara. Meminta barisan kunang-kunang. Mempawaikan kesedihan. Melalui cara-cara tak biasa. Membuang semua cahaya yang dimilikinya. Lalu mendermakannya pada cuaca.

Sehingga hujan tiba. Dengan cara luar biasa. Bukan rintikan gerimis. Namun percikan cahaya yang menyerupai tangis. Hujan kunang-kunang. Menggantikan musim basah yang centang perenang.

Sehingga kemarau tiba. Dengan cara istimewa. Bukan terik yang menggantang. Namun kerontang yang membingungkan. Kemarau bersayap kunang-kunang. Mengenyahkan musim kering yang lintang pukang.

Seberang Derawan, 27 Nopember 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun