menatap sungai Segah di hadapan. Ketika aku dihidangkan sederhananya keriuhan. Permukaan air yang mulai dididihkan matahari. Sepasang camar termangu di pucuk tiang layar seolah sedang patah hati. Satu inchi lagi mereka bisa tergelincir dan jatuh mati.
ditambahi pula dengan suguhan. Kapal-kapal batubara yang memangku dagunya menunggu muatan. Para nelayan yang mengayuh perahu kecil mencoba peruntungan. Juga mendung bergelayut begitu rendah seolah hendak menjatuhkan diri. Warnanya yang menghitam seakan menakuti dengan peringatan, hati-hati.
ini segmen kesekian saat aku ditakdirkan menjadi seorang pejalan. Menyusuri setiap jengkal tanah yang menghidupi negeri ini dengan bara api dan harga diri. Disusui oleh kedigdayaan sejarah masa silam. Ketika Majapahit dan Sriwijaya menjadikan Laut Cina Selatan sebagai kudapan.
pada sungai Segah aku bertabik salam. Sebelum menempuh perjalanan menuju Teluk Sulaiman. Tempat malaikat dan bidadari mengumpulkan rumah kecomang. Sebagai bekal para pejalan yang selalu saja berniat menuju tempat untuk pulang.
Tanjung Redeb, 26 Nopember 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H