di sebuah pagi
ketika purnama seolah ada di ujung tangga
aku berpegangan tangan dengan cemara
berusaha menyesap cahaya
sebanyak-banyaknya
sebelum mendung hitam
kembali menelannya dalam-dalam di tenggorokan
embun bahkan belum terbentuk
hanya kabut tipis
meruam seperti luka
dari masa silam yang belumlah terlalu lama
masih dalam kalender yang sama
sehelai daun markisa
ditakdirkan mengering di musim hujan
perlambang anomali
tak selamanya kelimpahan itu menghidupi
bau harum khas menguar di udara
entah dari mana
mungkin dari segelas kopi yang belum diberi gula
atau dari rerumputan yang kembali melahirkan anak-anaknya
di sebuah pagi
ketika purnama utuh menampakkan diri
sebait puisi menemui kata-katanya
memberikan pernyataan cinta yang paripurna
Bogor, 25 Nopember 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H