Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Aku Memagut Diriku

24 November 2018   08:37 Diperbarui: 24 November 2018   09:00 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pinterest.com/hanynagah


Pada puncak malam. Bandara menelanku habis. Aku menjadi pojokan, sedangkan bandara adalah sebuah kota. Semestinya di bandara aku terbang, tapi tak disangka aku justru tenggelam.

Pada ujung dinihari. Jalanan melahapku tak bersisa. Aku menjadi trotoar, sedangkan jalanan tetaplah yang dipertuan. Aku harusnya berjalan, tapi aku malah terjatuh di selokan.

Pada separuh pagi. Matahari menyusuiku dengan rasa panas. Tenggorokanku lantas terkelupas. Aku meranggas. Menunggu angin kecil memindahkan kekeringanku. Sampai di situ. Di tempat yang telah dilindungi waktu.

Pada sekerat roti yang padanya aku sangat penurut. Untuk sarapan bagi perutku yang penuntut. Aku menjadi lapar, sedangkan roti itu adalah malaikat yang gahar. Memintaku berbuat baik selalu. Sebelum jahat menjadi nama tengahku.

Dan semua kembali normal. Saat aku tak bisa menghindari keinginan yang cukup brutal. Mengunyah kesepian. Lalu memuntahkannya di keramaian.

Aku memagut diriku. Pada semua itu. Tanpa ragu-ragu!

Jakarta, 24 Nopember 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun