Lidah ini terasa begitu kelu. Mungkin saat sarapan tadi terlalu banyak mengudap kekakuan. Ketika kau sajikan serangkaian kekacauan di tengah-tengah kunyahan; aku besok ingin sarapan pagi. Aku tak mau lagi menyediakan sarapan untuknya. Aku lelah berpura-pura pagi itu nyata.
aku menyahut seolah tak peduli; sarapan pagi. Maksudmu seperti ini tak ada lagi?
Bukan, bodoh! Aku akan menjadikan pagi sebagai menu sarapan kita. Kita cincang pagi menjadi semur, lalu aku campur bersama jamur. Aku ingin hari menjadi begitu lamur. Kehilangan paginya yang berharga. Sehingga dia tak bisa lagi memamerkan apa-apa.
Mata ini lantas saja menjadi kaku. Begitu tajam kebencianmu pada waktu. Tidak selayaknya begitu. Selama ini waktu selalu menjagamu. Dari rasa sunyi yang dia singkirkan dengan menyediakanmu buku-buku. Buku yang pada akhirnya kau jahit dalam ruang kepalamu. Sebagai monumen peperangan. Terhadap kesepian.
Kau tak ambil pusing. Suaramu makin melengking; waktu telah membodohiku lebih daripada kamu. Aku ditipunya dengan rupa-rupa bahagia yang pura-pura. Kau adalah salah satunya.
Kali ini bukan hanya lidah dan mataku yang beku. Juga waktu yang sedari dulu membuntutiku. Di antara jantung dan hatiku.
Jakarta, 16 Nopember 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H