"Ayahmu meninggal di tempat. Ibumu sempat diselamatkan tapi kemudian meninggal juga tak lama setelah kau lahir."
Kali ini bibinya berhenti cukup lama.
"Paman dan bibi datang setelah pihak rumah sakit menelepon dan meminta kami datang. Ibumu memberikan nomor telepon bibi. Satu-satunya yang masih menganggap mereka keluarga."
Kali ini bibinya terlihat geram. Mungkin teringat tak satupun yang mau peduli saat itu.
"Bibi datang tepat saat ibumu hendak menghembuskan nafas terakhirnya setelah melahirkanmu. Dia berbisik menitipkanmu kepada bibi. Juga sebuah nama untukmu. Nama yang sangat sesuai dengan keadaanmu saat itu. Juga saat ini. Juga kenapa kau sangat membenci hujan."
Lek sama sekali tak bereaksi apa-apa saat. Hanya memeluk erat bibinya yang sesenggukan hebat.
"Terimakasih untuk semuanya Bi. Aku tahu sekarang kenapa aku sangat membenci hujan."
Lek melanjutkan sembari menghapus bekas jejak airmata di pipi bibinya. Matanya terlihat membara.
"Tahukah Bi. Mulai sekarang aku tidak akan membenci hujan yang telah membuat luka ini sangat dalam. Aku akan menaklukkannya! Seperti cita-cita Ibu yang telah memberiku nama Lelaki Kemarau!"
Bibinya mengangguk penuh rasa sayang. Lelaki Kemarau melangkah keluar rumah dengan tegap. Di luar sedang hujan deras dengan petir menyambar-nyambar.
Bogor, 11 November 2018
Â