sebagai pecintamu. Aku ingin memelukmu. Selalu. Tapi dari tubuhmu tumbuh duri kaktus. Aku sedikit terluka. Tak apa-apa. Luka ini bisa aku sembuhkan dengan cara membasahinya dengan cuka.
aku yakin. Duri-duri itu ditumbuhkan kebencian. Terhadapku yang punya dua wajah. Satu iblis dan satunya malaikat. Juga darahku yang berbeda warna. Merah saat aku berpetualang dan pucat ketika aku pongah menyebut diri sebagai lelaki yang malang.
sebagai iblis aku berkeliling dari perempuan ke perempuan. Menggoda mereka dengan sapaan jalang. Sebagai malaikat aku berbisik pada setiap telinga yang sedang kesakitan, berdoalah kepada Tuhan atas nama kesembuhan.
aku berlagak congkak. Untuk menutupi reruntuhan dosa yang meruyak. Aku mengaku sebagai pemain drama yang piawai. Di tangan kanan aku memetik dawai, tangan kiri aku menggenggam badai.
Kau merasa tertipu. Lalu melemparkan sembilu ke mukaku. Tetap tak jadi apa. Sayatannya akan aku abadikan di museum. Sebagai pengingat betapa seringkali aku merusak jalannya pendulum.
Pekanbaru, 6 Nopember 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H