Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Menulisi Langit

6 November 2018   07:47 Diperbarui: 6 November 2018   07:56 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Pesawat berguncang pelan. Menabrak ladang kapas yang ditanam secara tak beraturan. Belum saatnya panen hujan. Nanti. Ada waktunya. Ketika musim memberi isyarat. Lihat tanah-tanah itu menggeliat-geliat sekarat.

Entah sampai mana batas langit. Tapi jika rindumu hilang di sini. Aku yakin akan sulit ditemukan. Hilang di rerimbunan bunga-bunga kapas yang selalu berpindah tempat. Atau bisa jadi terbakar matahari yang tak henti meludahkan sengat.

Hanya sekilas. Bukit Barisan di bawah sana. Berbaris rapi. Setelahnya berantakan lagi. Tertutup bunga-bunga kapas yang terus saja berlari. Menghindarkan tubuhnya dicumbu angin yang sedang pada puncak birahi.

Juga sekilas saja. Selat Melaka bertaut muka dengan negara tetangga. Sama-sama mengucap salam. Menggunakan dialek Melayu yang mendayu-dayu. Mungkin juga saling berpantun. Bila perompak menghampiri perahu. Beri saja harta jangan kemudi. Bila hendak melampirkan rindu. Tuliskanlah dari kedalaman hati.

Pekanbaru, 6 Nopember 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun