Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cemburu] Sinar Lampu kepada Kunang-kunang

3 November 2018   01:56 Diperbarui: 3 November 2018   02:31 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Tidak ada yang lebih baik dari malam yang pekat. Semua orang bisa melihat. Ketika kami menari-narikan cahaya tak ubahnya persembahan ritual di panggung upacara para dewa.

Sambil bernyanyi dengan bahasanya sendiri, rombongan kunang-kunang itu berhenti untuk mengerumuni rumpun melati di sebuah halaman rumah yang penghuninya sudah terlelap di balik selimut hangat.

Kecuali sepasang mata cerah yang berbinar-binar. Dari seorang gadis kecil yang sedang menikmati keterpanaan pada munculnya dongeng yang sering didengarnya sebelum tidur. Kunang-kunang menari dengan riang di depan matanya. Sungguh menyenangkan!

Gadis kecil yang dipanggil Aisyah itu terus saja memaku dirinya di jendela yang sengaja dibuka. Dia tak ingin melepas kesempatan langka ini. Musim kunang-kunang tidak lagi sama. Sudah lama sekali kejadian seperti ini ada. Bertahun-tahun yang silam.

Dulu, ibunya sering mendongeng tentang betapa cantiknya tarian kunang-kunang. Sebelum akhirnya ibunya terbang melayang dan menjelma menjadi kunang-kunang, begitu terang neneknya setiap kali dia bertanya di mana gerangan ibunya berada. Saat itu usianya tak lebih dari 5 tahun.

Ayahnya juga sering mengajaknya berjalan-jalan di taman jika sedang musim kunang-kunang. Menyuruhnya mengejar mereka dan ikut menari bersama-sama. Sampai kemudian ayahnya menelepon dari rumah sakit dengan nada lemah dan mengatakan akan menunggu Aisyah di surga. Waktu itu Aisyah sudah beranjak ke usia 7 tahun.

Sekarang usianya sudah 10 tahun. Waktu yang cukup bagi Aisyah untuk paham bahwa ayah dan ibunya sudah mendiang.

Aisyah tetap tak mau melepaskan tatapan dari pasukan kunang-kunang yang kini terbang rendah menyelimuti rerumputan. Matanya yang semula bercahaya, mulai digenangi airmata. Terharu. Dia yakin ibunya berada di antara mereka. Dia juga percaya, ayahnya sedang berbisik di telinga agar dia menari bersama ibunya. Bersama mereka semua.

Aisyah tidak sadar bahwa selama dirinya bersandar di jendela, sekumpulan lampu taman dan jalanan mencoba memancing perhatian. Malam sedikit berkabut lembut. Sehingga lampu-lampu itu seolah berkedip manja. Indah sekali. Namun perhatian Aisyah tak bergeming sama sekali.

Lampu-lampu itu sudah lama menemani Aisyah yang rutin termenung di jendela yang terbuka. Mereka selalu memperhatikan gadis mungil cantik yang sering menerawang memandang langit itu. Bertahun-tahun mereka menjadi saksi bagaimana pandangan mata Aisyah yang nanar dan datar. Seolah tak punya emosi sama sekali.

Tapi kali ini berbeda. Gadis kecil itu begitu terhanyut terbawa perasaan. Lampu-lampu itu paham karena apa. Dan mereka cemburu. Selama ini mereka selalu berusaha menghibur. Dengan berbagai macam cara dan upaya.

Saat malam berhujan-hujanan, lampu-lampu itu bertingkah riang. Memancing Aisyah supaya ikut senang. Tapi yang terjadi sebaliknya. Aisyah malah menutup daun jendela. Meringkuk rapat-rapat di ranjangnya. Hujan mengingatkannya akan kerinduan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun