Kau menggelapkan langit dengan tatapan mata. Biru yang seharusnya ada di sana. Kau geser ke batas penglihatan. Semua menghitam. seperti kanvas yang disiram malam oleh para pelukis jalanan.
Aku tergagap karenanya. Kau tahu aku penyuka langit yang tak bersolek muka. Kau memang sengaja.
kau mengambil tetes terakhir hujan. Lalu kau susupi kerinduan. Tentu supaya rindu itu tak nampak jelas. Menjadi sekedar tempias. Aku berharap itu semua tidak menjadi ampas.
sementara lagu-lagu dari radio yang tinggal satu-satunya membunuh dirinya sendiri dengan kebosanan, kau menghadap ke televisi yang sedang menyiarkan berita peperangan. Kau ingin menjadi lagu itu. Sekaligus meledakkan mesiu di kepalamu.
sementara rumput di halamanmu semakin meninggi dan menutupi semua rumpun melati, kau menyiramkan segelas whisky sebagai ganti air kali. Kau berharap rumputnya mati, sedangkan melatimu bisa terselamatkan lagi.
aku tak habis mengerti. Aku menduga mungkin kau sedang keracunan mimpi tentang episode sunyi. Lagi-lagi.
tapi lihatlah, langit yang gelap itu birunya kembali! Haruskah aku membimbingmu untuk menatapnya sepenuh hati? Untuk kesekian kali?
Simalungun, 24 Oktober 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H