kau bertanya setelah ini apa. Aku coba menjawabnya. Meski ini sebenarnya bukan jawaban. Semua serba kira-kira. Jika saja aku bisa memastikan. Pastilah kau sudah di sampingku sejak lama.
Setelah bumi diaduk sedemikian dahsyat. Manusia seolah hanya segerombolan ngengat. Tersesat terlalu dekat. Di pinggiran matahari. Sayap dan tubuhnya terbakar api. Kemudian berjatuhan seperti hujan. Di laut yang memanggungkan kengerian.
Ini semua tentang konser kematian.
setelah musim berhasil dipecundangi. Manusia menyimpan musim dingin dalam lemari. Membekukannya untuk diri sendiri. Â Melempar musim panas ke atas tungku. Menjerangnya hingga menjadi abu. Kita lalu menggigil kedinginan. Sekaligus menggerung kegerahan. Di saat bersamaan.
dan tubuh kita tidak dicipta untuk bisa menerima keduanya. Pada saat yang sama. Konser kematian dilanjutkan menjadi orkestra airmata. Menangisi begitu banyak pusara. Bermunculan secara tiba-tiba.
setelah sekian banyak doa berhasil menumbuhkan sayapnya. Sebagian kecil sampai ke angkasa. Berusaha keras menuju Tuhannya berada. Tak pernah tiba. Salah alamat. Doa-doanya terlalu berat. Sebagian besar doanya mati. Luruh ke bumi. Menjadi hujan. Dalam bentuk asam. Mematikan.
orkestra airmata berubah menjadi keramaian sangkakala.
Setelahnya, tak akan ada lagi apa-apa.
Jakarta, 15 Oktober 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H