Hari yang aneh dan mengharu-biru. Terjadi hujan kupu-kupu! Warna-warna semarak mengarak langit yang sedang abu-abu. Seakan mendung tiba-tiba melahirkan pelangi. Bukannya gerimis yang menari-nari.
Jelas itu penghiburan atas bela sungkawa. Duka sedang bertebaran di mana-mana. Negeri ini sedang diguncang api. Berasal dari perut buminya yang mendidih. Berawal dari lautannya yang melepaskan pedih.
Hujan kupu-kupu menjatuhi jendela dan kepala. Pada jendela, kupu-kupunya terperangkap kaca. Di kepala, kupu-kupunya menjadi mahkota.
Pada jendela, sayap-sayapnya membentuk mosaik seni rupa. Mengingatkan pada kita bahwa duka itu begitu dekatnya. Tak jauh dari rasa jumawa. Sangat dekat dengan lupa.
Di kepala, mahkotanya berbentuk singa. Memberi pertanda bahwa kita hidup di tanah yang diliputi dendam membara. Atas penganiayaan yang tak disadari. Setelah sekian lama melukai bumi.
Hujan kupu-kupu berhenti tak lama kemudian. Sebab malam mengirimkan utusan. Petang tiba dengan kereta kegelapan. Sudah saatnya berhenti menghujankan warna-warni yang nantinya tak akan kelihatan.
Tumbang Manggu, 6 Oktober 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H