Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Sejak Takdir Dituliskan

5 Oktober 2018   11:03 Diperbarui: 5 Oktober 2018   11:26 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah mengasingkan jemu dan cemburu sejauh yang kau bisa. Ada baiknya kau sekarang berkontemplasi di sini. Sebuah tempat khusus yang berisi sekumpulan hati yang pernah mati.

Tempat ini dilindungi oleh kekuatan hujan. Kau tahu hujan adalah senjata terbaik menepis kekeringan. Hati kita nyaris saja hangus. Dipanggang arus panas terus-menerus.

Tempat ini sudah dibersihkan. Dari segala macam prasangka dan dugaan. Semuanya serba pasti. Bukan lagi dalam bentuk sumpah atau janji yang mudah saja dikhianati.

Tempat ini juga dipagari oleh api yang dinyalakan kemungkinan. Atas perjumpaan dengan airmata atau perpisahan dengan cinta. Juga kemungkinan untuk bertemu cinta dan berpisah dengan airmata. Semua bukan pilihan. Namun takdir yang dijatuhkan.

Tidak secara tiba-tiba tentunya. Sejak ditiupkan ruh ketika kita masih meringkuk di rahim ibunda. Takdir mulai melelehkan tinta. Hanya dua hal yang ditentukan. Pertemuan dan perpisahan. Pertemuan dengan cinta, airmata dan keranda. Perpisahan dengan cinta, airmata dan nyawa.

Sejak takdir dituliskan. Kau mulai berjalan di atas titian. Kanan dan kiri hanya masalah kejatuhan. Sementara belakang adalah tumpuan dan depan adalah harapan.

Semuanya berakhir pada satu tujuan.


Tumbang Manggu, 5 Oktober 2018

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun