Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Dunia Berlapis Tiga

3 Oktober 2018   16:37 Diperbarui: 3 Oktober 2018   16:56 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa lapis dunia berhasil dipetakan. Dibentangkan di atas meja. Bagi seorang petualang yang berjuang menemukan jalan pulang.

Mendatangi rimba belantara untuk terikat pada suluran rotan. Berperahu di sungai beriak dengan menikmati setiap hempasan jeram. Menjejak di puncak bukit berangin agar bisa melabuhkan setiap ingin yang lama mendingin.

Ini bukan mimpi buruk tentu saja. Ini adalah mimpi terbaik yang didatangkan oleh pagi dan senja. Bahkan mungkin pesanan khusus dari neraka dan surga. Bisa keduanya. Atau salah satunya. Tidak di antaranya.

Seduri apapun ketajaman. Sepisau apapun sayatan. Sebadai apapun hempasan. Bukanlah perkara. Itu biasa. Sebiasa kau ketika harus bertanggungjawab terhadap jatuh bangunnya cinta.

Ini dunia tak biasa. Dibangun tidak dari logika. Atau perhitungan angka-angka. Ini dunia yang dibesarkan pengertian. Atas segala kekacauan yang ditimbulkan.

Dunia ini bisa jadi dunia yang gila. Pada setiap lapisannya, tercipta sajak dan puisi tentang fajar yang terbakar, siang yang meregang, senja yang kehilangan nyawa. Juga malam yang seolah memadam.

Namun tetap ada matahari yang bersedia memecah dirinya. Dalam kehangatan cahaya yang selanjutnya menetap dalam jiwa.

Ini dunia berlapis tiga yang sesungguhnya tersusun dari pecahan kaca. Di dalamnya ada peri, bidadari, dan penari.  Bersama-sama mengendarai warna-warni pelangi. Berikut seorang lelaki yang memotong nadinya sendiri atas nama mimpi yang menurutnya sudah jadi.

Jakarta, 3 Oktober 2018

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun