Beberapa lapis dunia berhasil dipetakan. Dibentangkan di atas meja. Bagi seorang petualang yang berjuang menemukan jalan pulang.
Mendatangi rimba belantara untuk terikat pada suluran rotan. Berperahu di sungai beriak dengan menikmati setiap hempasan jeram. Menjejak di puncak bukit berangin agar bisa melabuhkan setiap ingin yang lama mendingin.
Ini bukan mimpi buruk tentu saja. Ini adalah mimpi terbaik yang didatangkan oleh pagi dan senja. Bahkan mungkin pesanan khusus dari neraka dan surga. Bisa keduanya. Atau salah satunya. Tidak di antaranya.
Seduri apapun ketajaman. Sepisau apapun sayatan. Sebadai apapun hempasan. Bukanlah perkara. Itu biasa. Sebiasa kau ketika harus bertanggungjawab terhadap jatuh bangunnya cinta.
Ini dunia tak biasa. Dibangun tidak dari logika. Atau perhitungan angka-angka. Ini dunia yang dibesarkan pengertian. Atas segala kekacauan yang ditimbulkan.
Dunia ini bisa jadi dunia yang gila. Pada setiap lapisannya, tercipta sajak dan puisi tentang fajar yang terbakar, siang yang meregang, senja yang kehilangan nyawa. Juga malam yang seolah memadam.
Namun tetap ada matahari yang bersedia memecah dirinya. Dalam kehangatan cahaya yang selanjutnya menetap dalam jiwa.
Ini dunia berlapis tiga yang sesungguhnya tersusun dari pecahan kaca. Di dalamnya ada peri, bidadari, dan penari. Â Bersama-sama mengendarai warna-warni pelangi. Berikut seorang lelaki yang memotong nadinya sendiri atas nama mimpi yang menurutnya sudah jadi.
Jakarta, 3 Oktober 2018
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H