Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi│Derai-derai Kota

25 September 2018   10:26 Diperbarui: 25 September 2018   15:11 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kota ini mencegahku untuk menulis puisi tentang kematian. Lebih baik jika kau tulis tentang kehidupan. Kematian itu usai.  Sedangkan kehidupan jauh dari selesai.

Begitu sergahnya sambil meneruskan sekian kalinya hari ini menggali lubang kuburan. Dari jauh lamat-lamat terdengar tangis bayi memecah kesunyian.

Kota ini melarangku memberitakan perihal moral para pejabat yang kandas. Lebih bagus bila kau beritakan senandung anak pemulung yang pagi berangkat sekolah, sore memilah barang bekas. Pejabat itu jelaga. Sedangkan anak itu adalah mutiara yang mesti dijaga.

Begitu tukasnya sembari kesekian kalinya membuka jeruji besi bagi para penghuni yang membanjir berdatangan. Sementara di seberang jalan, sambil masih mengenakan seragam, anak pemulung itu memikul setengah karung sisa botol kemasan.

Kota ini memintaku duduk beberapa saat di pinggir jalan, bawah jembatan penyeberangan, yang riuh oleh langkah tergesa-gesa entah masing-masing hendak mengejar apa.  Sementara jalanan menjadi pesakitan. Dilindas gaduh dan huru-hara kendaraan yang berlintasan.  Namun tak saling mengenal.  Kota bukan tempat yang tepat untuk saling kenal.

Coba perhatikan apa yang terjadi dari puluhan segmen drama yang terlihat. Dari seribu babak, tak pelak kau akan menemukan sebagian besarnya adalah orang-orang dalam kotak. Sisanya adalah orang-orang terpilih yang menyerahkan nasibnya pada garis takdir yang tak nampak.

Kota menyuruhku diam.  Dia bosan.  Aku terlalu banyak bicara. Namun tak berbuat apa-apa.

Jakarta, 25 September 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun