Kota ini mencegahku untuk menulis puisi tentang kematian. Lebih baik jika kau tulis tentang kehidupan. Kematian itu usai. Sedangkan kehidupan jauh dari selesai.
Begitu sergahnya sambil meneruskan sekian kalinya hari ini menggali lubang kuburan. Dari jauh lamat-lamat terdengar tangis bayi memecah kesunyian.
Kota ini melarangku memberitakan perihal moral para pejabat yang kandas. Lebih bagus bila kau beritakan senandung anak pemulung yang pagi berangkat sekolah, sore memilah barang bekas. Pejabat itu jelaga. Sedangkan anak itu adalah mutiara yang mesti dijaga.
Begitu tukasnya sembari kesekian kalinya membuka jeruji besi bagi para penghuni yang membanjir berdatangan. Sementara di seberang jalan, sambil masih mengenakan seragam, anak pemulung itu memikul setengah karung sisa botol kemasan.
Kota ini memintaku duduk beberapa saat di pinggir jalan, bawah jembatan penyeberangan, yang riuh oleh langkah tergesa-gesa entah masing-masing hendak mengejar apa. Sementara jalanan menjadi pesakitan. Dilindas gaduh dan huru-hara kendaraan yang berlintasan. Namun tak saling mengenal. Kota bukan tempat yang tepat untuk saling kenal.
Coba perhatikan apa yang terjadi dari puluhan segmen drama yang terlihat. Dari seribu babak, tak pelak kau akan menemukan sebagian besarnya adalah orang-orang dalam kotak. Sisanya adalah orang-orang terpilih yang menyerahkan nasibnya pada garis takdir yang tak nampak.
Kota menyuruhku diam. Dia bosan. Aku terlalu banyak bicara. Namun tak berbuat apa-apa.
Jakarta, 25 September 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H