Banyak rencana. Â Menjerang isi kepala. Â Menuju titik didih. Â Membuatmu penat dan tertatih-tatih.Â
Rencanamu untuk menancapkan tiang kebebasan di puncak gunung yang dingin setelah kau berhasil mendakinya dengan kekuatan ingin. Â Terhalang oleh angin. Â Kau terhuyung-huyung. Â Seolah orang sedang nandang wuyung.
Isi kepalamu mengeluarkan bunyi-bunyian. Â Seperti tarian perang Mohican. Â Perang yang tak pernah dimenangkan. Â Karena di dunia, kebaikan belum tentu tak terkalahkan.
Rencanamu agar bisa terbang bersisian dengan elang sembari mengitari padang ilalang yang menyimpan rupa-rupa kenangan. Â Terhambat oleh genangan awan. Â Pandanganmu menghitam. Â Kurang lebih malam.
Isi kepalamu berlarian. Â Menantang otak untuk berkata jangan. Â Tapi otakmu adalah sahaya. Â Diperintah hati yang sesungguhnya adalah raja.
Rencanamu memilah pagi mana yang hendak kau sukai, dicegah matahari. Â Terpaksa kau mengabutkan diri menjadi misteri. Â Melayang-layang. Â Seolah menghilang. Â Padahal hatimu tetap di sana. Â Menanti cinta.
Isi kepalamu menyajikan orkestra berganti-ganti. Â Dari kencangnya melodi Clementi. Â Hingga lembutnya violin Vivaldi. Â Itu semua adalah hasil pertunjukan dari rencanamu sendiri. Lintang pukang berlari.
Jadi. Â Hentikan punya banyak rencana. Bebaskan isi kepala.
Saat kau bilang bahagia itu ada karena direncanakan. Â Kau lupa bahwa rencana itu ada karena kita tak merasa dibahagiakan.
Bogor, 23 September 2018
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI