Kita saling memandang. Di batas langit yang kita sebut pengharapan. Di sana banyak bintang yang meniru kerlip kunang-kunang. Serupa dengan penunjuk jalan. Mungkin ke sana kita harus menuju. Mungkin juga tidak. Kita tidak tahu apa-apa. sebab kita hanya sebatas punya kehendak.
Pagi ini setenang kuburan. Tapi kita tidak sedang menghadiri pemakaman. Di dalam pikiran kita berkecamuk asal mula amuk. Sewaktu-waktu siap meledakkan sesuatu. Bisa rindu bisa juga paku. Tergantung di mana letak hati kita pada saat itu.
Tiba-tiba saja kita sudah berada di tepi pantai yang berangin. Semua terjadi mungkin karena kita sedang bersitegang dengan ingin. Kau mau kecomang menjadi rumahmu, sedangkan aku berharap rumah kita adalah kepompong kupu-kupu.
Di dalam kepompong kita bisa membicarakan banyak hal. Sebelum pada saatnya kita menetaskan banyak kesimpulan. Terhadap perkara-perkara yang tak usah kita sebut lagi perkara. Namun bibit-bibit badai yang mereda tepat pada waktunya.
Begitu rumah kepompong pecah sesuai perjanjian, kita harus segera terbang, menuju suatu tempat yang kita sebut pulang.
Bogor, 17 September 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H