Perempuan itu memandangi dinding kamar yang sedang memutar kenangan. Seorang bayi mungil menatapnya dengan sederhana. Bayi itu lupa pada tangisnya. Ditinggalkan kasih yang tanggal oleh ibundanya yang lebih dahulu menjemput surga, membuatnya lupa akan airmata.
Kenangan terus berputar. Perempuan itu melihat gadis kecil lucu mengejar kupu-kupu. Menoleh kepadanya sambil berseru; Ibu, aku ingin menangkap kupu-kupu itu. Aku akan memeliharanya dengan hati-hati. Seperti Ibu yang telah merawatku sepenuh hati.
Perempuan itu merasakan asin menyinggahi sudut mulutnya. Ketika segmen beranjak pada masa gadis kecil itu menjejak dewasa. Kali ini mengejar lautan. Berpamitan kepadanya sambil bersedu sedan; Ibu, aku akan meniti panjang gelombang. Berteman dengan ikan pari. Seperti Ibu yang memberiku kasih tiada henti.
Pita kenangan berhenti sejenak karena perempuan itu sibuk menata benak. Kali ini tanpa disertai tangisan yang mengonak; berangkatlah gadisku. Jika lautan itu tak bisa dijadikan tuan. Mintalah agar kau boleh menjadi puan. Menyusur setiap perhentian masa depan. Ibu akan ada di sana. Menunggumu penuh cinta.
Dinding kamar berhenti memutarkan kenangan. Pagi sudah mengintip dari balik jendela. Tiba masanya perempuan itu menata kembali hatinya yang berantakan. Menyusunnya di meja sarapan. Anak gadisnya yang lain menunggu di sana. Mengajaknya memulai fragmen berbeda, yang kelak diputar oleh dinding kenangan yang sama.
Bogor, 16 September 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H