Pagi diiris tipis-tipis oleh gerimis yang tiba secara ritmis. Suasana romantis lalu disajikan di atas nampan yang tak lama nanti akan dihidangkan pada perjamuan sarapan. Khusus untuk orang-orang yang bersedih dan patah hati karena dipaksa menemui perpisahan.
Udara enggan bergerak sehingga mendung yang tersangkut di tenggorokan langit tak ubahnya dahak yang berkerak. Panorama itu lebih didramatisir oleh silhuet sekawanan burung yang memainkan atraksi sihir dengan cara terbang lintang pukang tanpa pernah bertabrakan. Seakan dituntun oleh alarm peringatan kapan saatnya menghindar dan kapan masanya terus berkejaran.
Dunia serasa dua kali lebih lebar. Cahaya matahari menjatuhkan diri di sela-sela ilalang yang sedang berusaha berbunga liar. Sisa-sisa hujan berlarian kesana kemari. Mencari-cari. Di mana gerangan letak aliran yang tepat untuk mengairi keringnya hati. Hati yang kering belum tentu karena tersakiti. Bisa jadi juga karena seringkali menolak hujan akibat takut terbasahi. Ketakutan pada titik-titik airnya yang setajam jarum. Menusuk-nusuk hingga kedalaman jantung.
Ini pertunjukan tak biasa. Di panggung drama yang ditata sedemikian rupa sehingga menyerupai telaga beserta para penduduknya yang terdiri dari padma, katak dan angsa. Semuanya berdiam diri. Meresapi kehadiran pagi. embari menyemai benih cinta sebanyak-banyaknya. Kelak telaga itu akan memanen kedamaian dengan jumlah tak terkira.
Bogor, 9 September 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H