Aku menjejalkan pikiranku pada pasungan keyakinan terhadap butir butir hujan yang menyamakan diri dengan bulir bulir padi. Â Seyakin aku pada gumpalan awan yang menyerupai pematang. Â Keduanya adalah asal muasal kejadian. Â
Aku melubangi benakku untuk mengeluarkan kata-kata yang sedianya untuk menetralkan racun di kepala. Â Ini musim kalimat murka beterbangan. Â Bersliweran di angkasa yang muram. Â Berupa barisan kalimat cerca di kertas buram.
Aku merantai kembali peristiwa yang patah di tengah-tengahnya akibat jalinan yang tak pernah di lumasi oleh kepercayaan. Â Kepada bumi yang sukarela membasuh tembuni, menguburkankan di tanah yang hidup, lalu ikut menyalakan lilin dalam ritual yang sakral.
Aku merayapi detik demi detik ketentuan di setiap takdir yang mengalir. Â Muara nasib adalah pusara. Â Siap memakamkan kapan saja. Â Ketika sinar mata mulai kehilangan cahaya. Â Terhadap esok hari yang dianggap telah mati.
Aku menangisinya. Â Kemudian mentertawakannya. Â Menangisi kepedihan. Â Mentertawakan ketidakgembiraan. Â Airmata ini murni sumbangan. Â Teruntuk duka yang duafa. Â Dan juga bagi suka yang meminta suaka.Â
Kepada muram yang memerankan dirinya sebagai durjana. Â Puisi ini jauh lebih kusam dari wajahmu yang balam. Â Putuskan apakah hari ini adalah putus asa yang selama ini tertunda, atau hanya sekelebat perjalanan angan yang pahit adanya.
Bogor, 8 September 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H