Gelas kopi di hadapanmu masih belum tersentuh. Â Kau sibuk dengan lamunanmu yang tercerai-berai. Â Terlempar ke pojokan kamar, teronggok di serambi depan dan terpelanting ke halaman belakang.
Di pojokan kamar itu kau menggantung sebuah gambar. Â Wajah langit yang memudar. Â Kau selalu melekatkan tatapan begitu membuka mata. Â Berharap langit itu berubah biru seketika. Â Kau sangat menyukainya. Â Terutama saat mendung terlalu lama bernaung di kepala. Â Bisa-bisa hujan berserabutan menuju mata.
Serambi depan adalah tempatmu menyimpan kenangan. Â Di pot-pot bunga yang bergelantungan. Â Harapanmu tentu supaya kenangan itu tetap wangi. Sepanjang bunga-bunga itu terus kau sirami. Â Menurutmu merawat kenangan itu perlu. Â Tak semua kenangan menipu. Â Ada satu dua yang bisa dipercaya. Terutama yang begitu lekat dalam dada.
Halaman belakangmu banyak ditumbuhi ilalang. Â Sengaja kau biarkan. Â Katamu lengan ilalang yang tajam bisa menjagamu dari serbuan masa lalu. Memang selalu begitu. Â Masa lalu hampir selalu lewat pintu belakang. Â Mengendap-endap lalu menyergap begitu pikiran melayang-layang. Â Terjebak dalam lamunan berkepanjangan. Â Seperti yang kau lakukan sepagian.Â
Tidak ada yang salah dengan melamun. Â Tapi jangan biarkan kopi itu mendingin. Â Dalam setiap kedinginannya, kopi akan menumpahkan tetes demi tetes semangat. Â Minumlah selagi hangat. Â Dalam setiap kehangatannya, kopi sanggup mengumpulkan kembali tercerai-berainya hakikat.Â
Jakarta, 7 September 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H