Aku ingin menyusun paduan suara. Â Anggotanya aku, kamu, petir, hujan dan debur lautan. Â Aku dengan suaraku yang lancang ibarat gambang, kamu dengan segala kelembutanmu menjadi harpa, petir lantang memainkan kendang, hujan menyuguhkan irama klasik bergitaran, lalu melodi ringan dipersembahkan debur lautan.
Bersama-sama kita menyanyikan tembang peredam rasa kehilangan. Â Terhadap waktu yang dicuri oleh salahnya beberapa keputusan. Â Di sebuah pengadilan dengan hakim tanpa toga, takdir namanya. Â Tanpa dicatat panitera, nasib disebutnya.
Begitulah. Â Kita kumandangkan utuhnya penyerahan. Â Di sore ketika kita kehabisan kata hore. Â Karena leher yang mampat, tenggorokan tercekat, dan runtuhnya amanat.
Semoga lagu-lagu yang kita dendangkan, terdengar hingga pelosok hati yang seringkali berkelahi dengan keinginan. Â Menyadarkan kita akan berharganya sebuah pertemuan. Â Dan bukan meratapi pedihnya perpisahan.
Satu catatan. Â Sebelum bahagia itu kita temukan. Â Jangan sekali-kali paduan suara ini kita bubarkan.
Bogor, 3 September 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H