Melalui puisi, udara pagi dihirup tanpa basa-basi. Â Percikan embun di antaranya, adalah kata-kata yang entah bagaimana bisa mengandung kilau mutiara. Â Bersama pucuk cemara, kilau itu serta merta menumbuhkan binar mata.
Melalui sunyi, daun kering yang melayang dalam gerakan lambat, seolah paduan kalimat yang begitu khidmat. Â Bisa saja daun itu berhenti di udara. Sebuah sketsa luar biasa yang mudah saja menjaninkan kata-kata. Â Sangat sempurna.
Melalui puisi, gerutu debu yang enggan menumpang pada angin yang bisu, menghelakan tarikan nafas berulang-ulang. Â Dalam kekusutan ternyata tersimpan begitu banyak kata-kata bertulang. Â Menjadikan tubuh frasa menegak. Â Seperti berdirinya bulu roma pada isyarat kematian dari burung Gagak.
Melalui sunyi, puisi demi puisi dipunguti dengan hati-hati. Â Berceceran di jalanan, selokan dan pinggiran lautan. Â Dikumpulkan dalam satu wadah yang ditempa api musim dingin. Â Supaya wadahnya tak mudah retak oleh kekeringan dan kegaduhan. Â Sehingga puisinya bisa menua dengan sendirinya. Bukan mati muda saat kemarau sedang jadi raja.
Sunyi dan puisi. Â Saudara tak sedarah namun satu hati. Â Saat hidupnya, bersama-sama menggali lubang pemakaman bagi mimpi yang harakiri karena diabaikan malam. Â Saat matinya, berbarengan menghuni peti mati yang dipaku oleh lilin-lilin nyaris padam. Â Â
Bogor, 1 September 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H