Sesungguhnya bukan bulan memucat yang membuat hatiku sembab. Bukan pula karena hujan begitu terlambat mengirim utusan bahagia untuk mengudar duka yang tertambat. Tidak juga akibat senja yang merangkak mohon ampunan atas warnanya yang makin berkerak.
Semua ini karenamu. Perempuan yang bila malam nyaris selalu mengeluhkan betapa redupnya sinar lampu. Katamu merajut kelam itu perlu banyak cahaya. Tidak bisa sekedarnya saja. Terutama karena jarum yang digunakan setajam kenangan. Dan benangnya dianyam dari serat sayap elang yang berjatuhan. Itu setelah langit selesai memberikan tugas untuk menyisir angkasa. Membersihkan luka yang meruyak di udara.
Di perayaan kedatangan hujan. Gaun pesta yang kau kenakan dirias ronce kembang mayang. Itu pertanda baik bagiku yang memimpikan kata pulang. Duduk di hadapanmu. Lalu mengaku rindu dari segala penjuru.
Aku tahu malam telah kau pagari dengan mimpi yang kau curi dari embun yang nyaris saja mati. Untunglah masih sempat terselamatkan karena kau berbaik hati memberinya harapan. Dengan beberapa cara tak terduga dan hanya dilakukan oleh perempuan yang sedang jatuh cinta;
Kerlingan mata setajam kejora
menusuk langsung hulu dada
Senyum manis setipis irisan jeruk nipis
menghentikan isak tangis yang mulai menggerimis
Lambaian tangan selembut lumut
menidurkan kembali pagi yang bersungut-sungut
kembali bergelimang kabut