Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Pentas Drama di Senja yang Baru Tiba

25 Agustus 2018   19:07 Diperbarui: 25 Agustus 2018   19:11 640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Episode pertama

Tepat saat cahaya matahari yang kuyup.  Tiba di persinggahan waktu yang redup.  Hendak meneruskan langkah pulang.  Terhadang oleh mendung hitam mengangkang.  Risih.  Menepi sejenak di pinggiran langit yang bersih.  Membatin dengan dingin; seandainya aku angin.  Aku akan pinggirkan segala hal yang menghalangi ingin.  Aku pendulang gigih angan-angan.  Bukan pembuang cita dan harapan.  Mendung hitam hanyalah bagian kusam dari keseluruhan kaca yang terang.  Aku tak akan mengurungkan niat untuk pulang.

Episode kedua

Angin yang sejak semula berdiam diri.  Mendadak ribut terhadap kehadiran sunyi.  Menggeram sejadi-jadinya.  Menggelinjang semau-maunya. Meniupkan sedikit saja badai.  Niatnya meyingkirkan banyak lalai.  Jadilah sunyi merintih-rintih perih.  Dalam kekalutan yang mendidih; seumpama aku punya perlindungan sekuat tembok besar.  Aku akan bertahan sebagai kaisar.  Di kekaisaran tanpa kegaduhan.  Kalian menyingkirkanku dengan semena-mena. Seolah sunyi adalah wabah petaka.  Padahal sunyi adalah bagian utama dari mimpi.  Tanpa sunyi, mimpi apapun tak akan pernah jadi.

Episode ketiga

Warna jingga menyemak.  Dari merah yang beranak pinak.  Melahirkan keindahan tanpa permak.  Senja yang baru tiba.  Banyak sekali melahirkan kata-kata.  Bagi kewarasan orang biasa maupun kegilaan para pujangga; senja itu ibarat ternak terpilih.  Pada waktunya tentu akan disembelih.  Sebagai pengorbanan terhadap jendela masa yang telah memberimu keleluasaan untuk menikmati keindahan waktu.  Setelah sepanjang hari kau dimusuhi almanak dan debu.

Episode keempat

Ketika senja tenggelam.  Maka malam mulai menghunjamkan tajam kelewang yang ditempa api kegelapan.  Pekat.  Seperti aura jiwa ketika lupa akan ingat.  Suara-suara yang terdengar begitu pelan dan hati-hati.  Seperti kidung samar-samar yang ditembangkan oleh gadis sedang patah hati; bila di langit ada bintang mati.  Aku akan meminta ikut dikafani.  Bersama-sama dikuburkan di rasi-rasi. Kirimkan saja doa-doa sederhana.  Agar pagi dan senja diselamatkan dari malapetaka.  Yaitu segala rupa dengki dan marabahaya.

Bogor, 25 Agustus 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun