Kepada cemburu; Â Kau telah menggenapkan kepedihan ke dalam utuhnya keganjilan. Â Kau tuangkan perasan cuka satu cawan di kuali panas yang sedang menjerang harapan. Â Seandainya kau berbadan. Â Akan aku jadikan kau seorang buronan.
Kepada langit biru yang berubah ungu; Kau berganti warna demi apa. Â Apakah demi cinta kepada seorang anak yang meniup seruling di padang gembala dan berharap datangnya bianglala. Â Atau kau menyediakan sekujur tubuhmu untuk lautan Portulaka. Â Atas nama doa-doa bunga yang memohon sekali waktu bisa mewangikan angkasa. Â Selama bumi masih berusaha keras menawar bisa.
Kepada rindu suam-suam kuku; Kau memang tak memanasi hati. Â Tapi kau tega menyusupkan duri di setiap pori-pori. Â Duri rindu memang tak tajam. Namun rasanya tiga perempat sungsum tulangku begitu lebam. Â Seperempatnya lagi masih terbenam. Â Menunggu kau meniupkan desir langgam. Â Syair lagu yang ditulis oleh dendam. Â Dari kegelapan kepada cahaya lampu yang padam.
Kepada rentetan pertanyaan tentang bulan; Kau memaksaku mewawancarai malam. Â Mencari tahu dimana gerangan jahanam yang telah menelan purnama. Â Pertanyaanmu bernada naik pitam. Â
Meski bibirmu masih tetap menyunggingkan senyuman. Â Aku menyukainya. Â Walau aku harus tetap berjaga jika sekali waktu kau jejalkan ke lidahku sari buah Maja.
Kepada jawaban yang aku berikan; Aku beri tanda baca selengkapnya. Â Supaya kau paham apakah aku senang, berang, atau terkenang-kenang. Â Di satu saat koma kau baca, itu berarti aku belum usai bercerita. Â Di satu waktu titik tak lagi berjeda, itu pertanda sandyakala telah tiba. Â Inilah saatnya kita bercermin di kaca yang sama. Â Lalu bersama-sama pula berucap cinta.
Bogor, 22 Agustus 2018 Â
Â
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI