Mata air nampak sedang termangu. Di pemandiannya yang terletak jauh di hulu. Berkeringat. Lepas dari semangat. Pedihnya terasa hingga puncak stupa. Bertapa di sana. Menunggu kapan hujan ucapkan salam. Bersama titik-titik air yang berlompatan.
Akar-akar tempatnya merengkuh dekapan, nyaris terlepas. Rekahan tanah tempatnya berlalu lalang, sudah lama terkelupas. Kabut yang biasanya jatuh hingga ke lutut, kini hanya serupa suapan uap yang selalu luput. Gagal dijemput.
Airmata mata air mengalir liar. Terperosok di bibir kemarau. Tanpa sanggurdi yang biasanya untuk mendaki. Tanpa pelana tempat mendudukkan cinta. Tanpa surai yang rontok diterbangkan badai.Â
Tak sanggup lagi mendaki urat-urat bumi. Mendudukkan cinta sesungguhnya terhadap kehausan stomata. Berhenti menyampaikan kabar tentang akan tuntasnya dahaga. Karena jelas itu bohong semata.
Jika sampai mata air berairmata. Entah tangisan apalagi yang lebih pilu dari ini. Â Petaka seperti apa bernestapa seduka ini. Apalagi ternyata airmatanya mengalir begitu liar. Menjalar kemana-mana dan menular. Kepada sekumpulan kesedihan yang sebenarnya telah berhasil disembunyikan, kini malah menguar akbar.
Jangan sampai airmata itu membeku. Menyerupai kristal-kristal batu. Â Itu sama saja dengan mencacah bangkai waktu. Menjadi kepingan-kepingan sembilu.
Bogor, 22 Agustus 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H