Kini aku mengerti. Kenapa bila malam separuh nafasku tercekik sunyi. Ternyata selama ini aku tak peduli. Pada ketukan keras di pintu hati. Mimpi hendak datang bertamu. Namun aku memutuskan untuk menolaknya dengan alasan jemu.
Aku lebih menyukai kedatangan hujan. Mengetuk lembut pintu, jendela dan halaman. Aku pikir hujan jauh lebih bisa paham memaknai kesendirian. Dia selalu datang ketika kemarau menjauh pergi. Berselisih jalan untuk sebuah tujuan yang pasti.
Sepertinya memang mesti mulai menata ingatan. Sebagian besarnya tercerai berai oleh lupa yang berkelindan. Mengingat pagi sebagai pelahir hari, tapi lupa pada dinihari yang merupakan janin murni. Mengingat matahari sebagai pembagi kehangatan hati, tapi lupa kepada langit yang terus saja dilukai dengan keji. Mengingat senja sebagai penanda dimulainya purnama, tapi lupa bahwa gerhana bisa saja tampil sebagai pemuram durja.
Ingatan yang tertata rapi tak ubahnya lemari yang ruang-ruangnya telah dipilah menjadi sekat-sekat yang diperuntukkan bagi buku-buku tentang malaikat, pelaknat dan juga keinginan yang berkarat. Beberapa ruang dikosongkan sebagai tempat untuk airmata yang tercekat, cita-cita besar yang tak pernah mampat, dan juga rindu yang lamat-lamat.
Lalu dimana letak cinta jika ruang-ruang dihabiskan untuk itu semua? Ternyata. Cinta tak memerlukan ruang apapun juga. Cinta adalah lemari itu sendiri. Berdiri kokoh menaungi apabila selalu dirawat dan dilindungi. Hancur roboh tak berbentuk lagi jika disiangi oleh api. Api yang berasal dari reruntuhan sunyi.
Bogor, 21 Agustus 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H