Dan, halimun pekat itu kembali.Â
Menyusur lorong-lorong sekolah, gang-gang pasar, tiang-tiang jemuran. Â Lekat, menyongsong hidung dan tenggorokan. Â Berbondong-bondong seolah ada hal yang mesti dirayakan. Â Dan memang demikian. Â Halimun itu merayakan kehadiran mereka setelah jeda beberapa masa. Â Dipenjarakan kekuatan asa.
Tentulah ini salah kemarau!
Siapa lagi yang harus disalahkan? Hujan? Â Jauh dari mungkin. Â Tak akan menyala api segarang apapun ketika hujan datang berduyun-duyun. Â Tak akan membara sedikitpun lava yang dimuntahkan beberapa kepundan, jika deras hujan tumpah beberapa gunung.
Kemarau paling mudah disalahkan. Â Dia tak akan melawan. Â Dicat sehitam malam. Â Lalu disimbolkan sebagai kambing. Â Ribuan telunjuk menuding. Â Itu dia! Â Biang masalahnya!
Dan, halimun pekat itu terus menerus menerjang kesana kemari. Â Sayap-sayapnya mengibas tiada henti. Â Mencari-cari. Â Setiap lubang untuk dimasuki. Setiap nafas untuk dikerubuti. Â Setiap teriakan untuk dikelabuhi.
Sementara induk semang halimun pekat itu berpesta pora di hutan hujan yang namanya telah diubah menjadi hutan kenangan. Â Melibas dan mengipas-ngipas rawa gambut yang sebutannya berubah menjadi rawa berkabut.
Kemudian dengarlah gemuruh doa-doa menghampiri langit yang berdiam diri;
Datangkan kami hujan satu lautan. Â Sirami celaka ini bertubi-tubi. Â Kami berjanji akan membenahi perilaku kami yang tak henti mencederai bumi. Â Sepenuh hati!
Dan tahukah kau apa kata ramalan dari langit yang bertugas mengkristalkan janji? Â Doa-doa seperti ini akan datang lagi tahun depan nanti.
Bogor, 21 Agustus 2018