Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Tentang Hujan dan Upacaranya

12 Agustus 2018   13:43 Diperbarui: 12 Agustus 2018   14:24 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku menenggelamkan diri dalam kabut. Mencari dingin. Dan titik-titik angin. Aku mau meminang pagi ini sebagai dayang-dayang.  Untuk mengiringi hujan.

Hujan juga perlu penunjuk jalan. Tempat-tempat mana yang mesti didatangi.  Bila tidak, hujan bisa tersesat arah. Menuju kekeringan yang sebenarnya salah kaprah. Bisa saja tak menghujani sawah-sawah, tapi tertumpah di gurun pasir yang berada di negeri entah.

Kali ini hujan datang disertai upacara. Upacara sederhana yang diadakan induk semang cuaca. Hujan dititah untuk tidak membawa serta petir. Orang-orang sekarang lebih banyak yang pandir. Mudah sekali terkejut lalu pikirannya melintir.

Upacara menghormati hujan dilakukan dengan cara menjajarkan tempayan. Juga sumur dan cawan. Menadahnya melalui satu anggapan. Datangnya hujan akan menipiskan kegelisahan.

Gelisah itu satu jiwa dengan kemarau.  Panas dan kacau. Membakar ubun-ubun kepala.  Menghanguskannya menjadi satu kesimpulan yang mengada-ada; kegelisahan adalah tersangka utama. Bagi keputusan yang tidak pada tempatnya.

Bogor, 12 Agustus 2018

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun