Aku bermain di taman pikiranmu. Â Taman yang kau bangun semenjak kau mengenal betapa cantiknya embun. Â Di pagi ketika kau mengerat sejumlah mimpi ke dalam potongan kecil seumpama rajangan spaghetti.
Di taman itu aku temukan ketenangan. Â Aku bisa menciumi wangi bunga sepatu. Â Untuk menghilangkan bau debu yang menempel kuat di dalam benakku. Aku juga bisa berlarian. Â Menumpahkan kekesalan dengan menginjak rumput sepuasnya, kemudian menyiraminya lagi sebagai ganti rasa bersalahku.
Di taman itu aku bebas merenungkan ketinggian. Â Sebab aku merasa sebagai elang. Â Memindai segala macam persoalan dengan ketajaman mata. Â Bukan atas tumpulnya prasangka.
Di taman itu aku boleh ragu-ragu. Â Apakah sebaiknya mengumpulkan batu-batu atau meminjam kekalutan daun putri malu, untuk menjaga kekerasan hati dari jebakan sunyi.
Di taman itu aku menerjuni setiap tikungan labirin yang sengaja kau buat seberliku rongga-rongga rumit di badan terumbu. Â Aku menyusur lekuknya dengan jantung berdesir. Â Karena aku pikir aku bisa bersamamu seperti kebersamaan abadi pasir dengan pesisir.
Setelah rasanya cukup waktu aku bermain di taman pikiranmu.  Aku memutuskan sebuah kejadian agar menjadi kepastian.  Aku ingin tinggal di situ.  Aku tak perlu ijinmu.  Karena diam-diam aku telah menanami taman pikiranmu dengan benih dari  kisah cintaku.
Jakarta, 9 Agustus 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H