Aku mencecarkan tiga pertanyaan kepada hujan;
1) dimana selama ini dia bersembunyi. Â Ketika serombongan gagak mati, sekumpulan seruni mati, titik-titik mata air mati. Â Para gagak itu bergelimpangan, tenggorokannya digorok kehausan. Â Rumpun seruni itu retak-retak, dahan dan bunganya luluh lantak. Â Mata air berhenti mengalirkan air, berganti menghilirkan lendir dari pohon-pohon yang getahnya mencair.
2) sejauh apa dia hendak pergi melarikan diri. Â Dari ikatan sumpah dan janji. Â Berbagi musim dengan kemarau. Â Dalam neraca yang kurang lebih sama. Â Tidak berat pada salah satunya. Â Karena musim sangat mungkin rubuh. Â Bila unsur-unsurnya tidak lagi patuh. Â Akibatnya bisa saja langit akan runtuh. Â Menimpa bumi yang saat ini saja sudah terlalu disakiti banyaknya keluh dan diberati luberan peluh.
3) kapan dia datang lagi. Â Mengembalikan kehidupan dan kicauan. Â Menurunkan debu yang congkak beterbangan. Â Membecekkannya dalam genangan. Â Termasuk juga melongsorkan pematang. Â Melumpuri pokok-pokok padi yang nyaris mati. Â Jadi bangkai jerami yang belum jadi.
Aku mendapatkan jawaban singkat dari hujan;
1)
Aku tidak sembunyi
Hanya sekilas pergi
Menuntaskan amanat langit
Memberikan pelajaran seperti apa rasa sakit
2)
Aku juga tidak melarikan diri
Kau lihat aku setiap hari
Tak kasat mata
Dalam bentuk airmata
3)
Aku pasti datang lagi
Sudah tersurat aku adalah pelahir bunyi
Di atap rumah yang seringkali kesepian
Membangunkan orang-orang agar paham apa itu kerinduan