Kerumitan yang tercela. Â Ketika kita memasukkan begitu banyak angka pada frasa merdeka. Â Tak seharusnya terjadi. Â Kemerdekaan itu tidak bisa dihitung dengan kalkulator. Â Kemerdekaan adalah bayang terang yang ditimbulkan oleh nyala obor.
Terbangun di padang gurun gelap di musim dingin yang pengap, lalu menyembullah matahari di ufuk yang tepat. Â Mengusir kedinginan sekaligus kegelapan. Â Memberikan jalan bagaimana cara mencari letak mata oase. Â Itulah fase mula-mula merdeka. Â Tak jauh berbeda dengan kondisi orang papa.
Selanjutnya menelusuri jejak rumput-rumput meranggas di savana yang keras. Â Menggiring rasa merdeka pada pahit getirnya perjuangan menepis kehausan. Â Saat berjumpa binatang buas, buatlah perangkap sebelumnya. Jika tidak, berserahlah menjadi mangsa. Â Ketika musim yang kejam mencoba menganiaya, bertahanlah sekuat tenaga. Â Tak tersedia waktu yang mewah untuk sekedar mengiba.
Pada saat menemui tepian surga dengan sungai bening yang mengelilinginya, hutan harum yang menjadi pelatarannya, gunung tinggi yang memerankan diri sebagai penjaga, dan lautan biru yang menyediakan perjamuan setiap harinya, ini bukanlah merdeka yang sebenarnya apabila masih diramaikan dengan gunjingan dan saling lempar tinja.
Perjalanan merdeka hanya disebut sampai pada ujung sempurna jika orang-orang saling sapa, saling menyeduh kopi lalu menyecapnya pada gelas yang sama, saling berteriak mengingatkan tentang bahaya dan saling bertanya apakah semua baik-baik saja.
Perjalanan merdeka jangan digaduhi suara-suara yang keluar dari mulut bercuka, atau tetabuhan sumbang yang muncul dari gamelan tanpa gambang. Apalagi jika saling menusukkan duri berbisa dari belakang di sebuah malam yang terbelakang. Â Perjalanan merdeka akan berhenti di satu titik yang pada akhirnya membuat semua orang terjengkang tunggang langgang.
Jakarta, 7 Agustus 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H