Di pintu itu kau berdiri. Berhenti. Melihat halaman rumah yang tiba-tiba ditumbuhi begitu banyak matahari. Kau mengusap-usap kesadaran. Benarkah ini bukan mimpi yang tersesat jalan?
Dibidani oleh pagi. Dari setiap matahari berlahiranlah anak-anak cahaya. Tergolek bertangisan. Di tanah kering kerontang. Sudah lama halaman itu memang tak kau siram.
Kau tak sengaja lupa atau sengaja melupakan. Air yang ada seringkali kau peruntukkan bagi airmata. Tak cukup lagi untuk yang lain. Semua beralih rupa menjadi kepedihan.
Anak-anak cahaya itu berlompatan. Mengisi setiap ruang yang sebelumnya ditumbuhi bunga sepatu, kenanga dan angsoka. Menggantikan mereka dengan sukarela. Kelak, anak-anak cahaya itu juga akan berbunga. Berakar, tumbuh dan mekar. Memerahkan kembali harapanmu yang sempat memudar.
Kau tersungkur dalam syukur. Ternyata harapan itu tak sepenuhnya luntur. Pagi ini halamanmu dianugerahi banyak matahari. Kau hanya tinggal menanti. Pagi selanjutnya hujan juga akan tumbuh di sana. Dari rahimnya terlahir aliran mata air. Menggantikan airmata yang kau putuskan berhenti mengalir.
Bogor, 7 Agustus 2018
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI