Tidak tercium bau bunga liar. Tidak nampak bulu halus cendawan beterbangan. Â Udara terasa mampat. Â Cuaca nampak begitu penat. Â Semuanya menggelinjang kepanasan. Â Diseduh kemarau yang belingsatan.
Musim hujan masih jauh. Â Jangan suruh kemarau menjauh. Â Sekalipun hati terlanjur melepuh. Â Jangan paksakan keadilan kemudian luruh. Â Kemarau punya hak asuh yang sama. Â Terhadap musim yang beranak pinak cuaca.
Kala kita berbuat kejam dengan cara merajam cuaca sampai hanya tersisa kekacauan. Â Itu sama saja dengan memulakan peperangan yang tak akan pernah kita menangkan.Â
Ketika kita bertindak semena-mena dengan menguliti kemarau sejadi-jadinya. Â Jangan salahkan bila kemarau menunjukkan sosok yang sebenar-benarnya. Â Menguras tuntas keringat dan selanjutnya mengeringkan airmata.
Ketika kita bertingkah semaunya dengan mengurung kebebasan hujan seenaknya. Â Jangan salahkan bila hujan sampai meruntuhkan langit atas kemarahannya. Â Merendam kekakuan lalu berikutnya menenggelamkan senja. Â Pada puncaknya.
Kita bukan lawan yang sepadan bagi mereka. Â Kita hanya cecunguk yang jumawa dan sering lupa. Â Pendingin yang kita cipta, tak ada guna jika kemarau murka. Â Penghangat yang kita reka, sungguh percuma jika dingin tiba dengan membabi buta.
Kita tak lebih dari anai-anai. Â Mendatangi api, hangus terbakar, tapi kukuh tak mau berucap damai.
Kita tak lebih dari kucing rumahan. Â Mengejar mangsa di air pasang, tenggelam, namun begitu keras kepala untuk mengatakan; kami tak tahu diri, tolong maafkan, beri kami ampunan.Â
Jakarta, 3 Agustus 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H