Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Tak Lebih dari Anai-anai dan Kucing Rumahan

3 Agustus 2018   20:38 Diperbarui: 3 Agustus 2018   21:10 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak tercium bau bunga liar. Tidak nampak bulu halus cendawan beterbangan.  Udara terasa mampat.  Cuaca nampak begitu penat.  Semuanya menggelinjang kepanasan.   Diseduh kemarau yang belingsatan.

Musim hujan masih jauh.  Jangan suruh kemarau menjauh.  Sekalipun hati terlanjur melepuh.  Jangan paksakan keadilan kemudian luruh.  Kemarau punya hak asuh yang sama.  Terhadap musim yang beranak pinak cuaca.

Kala kita berbuat kejam dengan cara merajam cuaca sampai hanya tersisa kekacauan.  Itu sama saja dengan memulakan peperangan yang tak akan pernah kita menangkan. 

Ketika kita bertindak semena-mena dengan menguliti kemarau sejadi-jadinya.  Jangan salahkan bila kemarau menunjukkan sosok yang sebenar-benarnya.  Menguras tuntas keringat dan selanjutnya mengeringkan airmata.

Ketika kita bertingkah semaunya dengan mengurung kebebasan hujan seenaknya.  Jangan salahkan bila hujan sampai meruntuhkan langit atas kemarahannya.  Merendam kekakuan lalu berikutnya menenggelamkan senja.  Pada puncaknya.

Kita bukan lawan yang sepadan bagi mereka.  Kita hanya cecunguk yang jumawa dan sering lupa.  Pendingin yang kita cipta, tak ada guna jika kemarau murka.  Penghangat yang kita reka, sungguh percuma jika dingin tiba dengan membabi buta.

Kita tak lebih dari anai-anai.  Mendatangi api, hangus terbakar, tapi kukuh tak mau berucap damai.

Kita tak lebih dari kucing rumahan.  Mengejar mangsa di air pasang, tenggelam, namun begitu keras kepala untuk mengatakan; kami tak tahu diri, tolong maafkan, beri kami ampunan. 

Jakarta, 3 Agustus 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun