Sulit aku menjangkaumu. Kau jauh di atas sana. Terbang bersisian dengan elang. Menyapu udara yang berdebu. Dengan sayap-sayap yang dikemudikan rasa rindu.
Rasanya ingin aku bertamu di hadapanmu. Melihatmu menatapku. Dengan tatapan setajam lebah terhadap bunga-bunga yang menyimpan nektar rahasia. Dan aku, memilih untuk membuang muka. Jika tidak, maka aku akan terpilih sebagai yang terluka.
Lalu kita berbincang tentang apa saja. Terutama tentang pagi yang tersayat. Nadinya teriris tajam pucuk pinus. Kemudian dibebat gulungan kabut.Juga tentang kecemasan kita. Terhadap danau dingin yang mestinya direnangi angsa. Angsa sangat bisa menghangatkan. Sebab bulunya dipilin dari perapian.
Angsanya tak ada. Mereka lebih memilih merenangi angan-angan kita. Agar kita tidak terjatuh dalam dingin. Dan berdiam seribu bahasa. Seperti patuhnya hening terhadap suasana.
Kini aku bisa menjangkaumu. Jarakmu tak lebih dari jarak antara jantung ke hatiku. Itu artinya kau ada dalam dadaku. Kau harus mengakui itu, atau aku akan memburumu. Seperti kerasnya perburuan waktu terhadap kupu-kupu.
Pekanbaru, 31 Juli 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H