1)
Harta karun berupa embun yang menggelantung lemah pada deretan daun-daun. Menunggu saatnya terjatuh begitu isyarat sergapan cahaya matahari dimulai. Â Mirip dengan peluh. Dari pepohonan yang cemas menanti hujan. Namun kilaunya lebih mirip mata pedang yang diasah oleh para empu satuhu. Tajamnya menggiriskan. Â Tapi indahnya tak terperikan.
2)
Cericit burung-burung yang mempersembahkan panggung opera bagi dimulainya sebuah drama. Suaranya yang terlatih menindih perih yang tersisa dari penjajahan malam. Menguatkan. Apalagi ketika masih tersembur gema dari bacaan ayat-ayat suci Alquran. Laksana semburan kobra. Menyakiti rasa dendam dan sakit hati. Sekaligus mengobatinya hingga lukanya tertutup dengan rapi.
3)
Gaduh. Meruntuhi jam-jam sibuk para pemburu mimpi. Ini adalah harta karun yang tak kentara. Semangat yang membara. Tatapan mata yang menyala. Hari kemudian dibaratkan bara. Berjingkat-jingkat untuk melewatinya. Namun di depan sana telah menunggu serombongan cita-cita. Bagi yang berhasil dengan telapak kaki utuh, maka itu adalah piala. Bagi yang gagal sebab kakinya melepuh, maka itu adalah hal biasa. Â Bukan huru hara.
4)
Langit. Menyediakan harta karun di ujung bukit. Bukit yang sesungguhnya untuk orang-orang yang bertanam dan berladang. Bukit berupa menara bagi orang-orang yang menghabiskan waktu kerja dalam kotak kaca. Pagi adalah waktu yang paling tepat untuk mendaki. Karena terlambat sedikit, bisa saja belukar telah meraksasa atau menara menyerpih menjadi pecahan kaca.
5)
Biasanya. Udara masih lembut. Harta karun bagi nafas yang setiap hari makin merenta. Harta karun yang lebih berharga dari segudang permata ataupun mengkilapnya singgasana. Jangan sia-siakan. Jika perlu hangatkan dalam perapian. Di segenap lubuk hati yang berkata syukur. Harta ini cuma-cuma bagi siapa saja. Jangan terkotori oleh racun keinginan yang mengada-ada.
Jakarta, 24 Juli 2018